Senin, 06 Februari 2012

TAMBANG HARAM (Fatwa MUI se Kalimantan)


Kerusakan alam (lingkungan) akibat penebangan dan pertambangan (minning dan logging) telah menimbulkan keprihatinan para pemuka agama. MUI se Kalimantan berkumpul untuk membahas persoalan ini. Akhirnya diputuskan Fatwa yang mengharamkan bisnis dengan karakter merusak lingkungan, merugikan masyarakat dan pemerintah.

MUI Samarinda: Tambang Samarinda Banyak Mudaratnya


DUKUNGAN ULAMA: Aktivis GMSM bersama pengurus MUI Samarinda setelah mengadakan pertemuan membahas soal rencana gugatan class action melawan Walikota Samarinda soal kebijakan tambang batu bara.

 

Setidaknya Ada Tiga Kasus Hukum yang Timbul Akibat Kebijakan dan Operasional Tambang

SAMARINDA – Gerakan Masyarakat Samarinda Menggugat (GMSM) yang mengorganisir rencana gugatan perwakilan kelompok atau class action terhadap Walikota Samarinda Syaharie Jaang tentang kebijakan tambang batu bara, terus bergerilya mencari dukungan. Kemarin (19/1) mereka memperoleh dukungan dari  Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda. Dukungan itu disampaikan oleh Ketua MUI Samarinda KH M Zaini Naim saat aktivis berbagai organisasi itu menyambangi sekretariat MUI di Jalan Juanda Samarinda.
“Kami mendukung secara moral perjuangan para aktivis dalam menempuh upaya hukum guna meminimalisir dampak kerusakan lingkungan yang timbul akibat pertambangan batu bara yang ada di Samarinda,” tegas Zaini.
MUI akan berjuang dengan melakukan sosialisasi soal fatwa haram tambang yang merusak lingkungan hidup, baik pertambangan (mining), penebangan hutan (logging) dan penangkapan ikan (fishing) yang telah disepakati MUI se-Kalimantan dan diterbitkan 2007 lalu di Banjarmasin. Fatwa itu dirumuskan berdasarkan pertimbangan ulama pada dampak yang muncul akibat tambang justru hanya merusak lingkungan hidup.
Hanya saja, sosialisasi fatwa itu akan dilakukan setelah menerima salinan fatwa haram tambang dari MUI Kalimantan Tengah.
“Tambang yang merusak lingkungan itu hukumnya haram. Seperti yang ada di Samarinda sebenarnya sudah jelas menimbulkan mudarat dibanding manfaatnya. Karena itu masyarakat harus memahami bahwa terbitnya fatwa haram tambang itu untuk menjaga agar tak memperparah kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Kita tunggu salinan fatwa itu dikirim ke Samarinda agar menjadi landasan hukum yang jelas di masyarakat. Meskipun tugas dan kewenangan MUI hanya mengimbau saja,” jelasnya.
Bahkan, ia menilai penanganan masalah tambang batu bara di Samarinda kurang serius. Sebab, beberapa musibah yang terjadi akibat tambang tak hanya merugikan masyarakat secara materiil. Namun kerugian ditimbulkan juga menghilangkan nyawa bocah yang tengelam di lubang eks tambang batu bara.
“MUI siap dilibatkan untuk meninjau lokasi pertambangan yang ada dan mengancam masyarakat Samarinda. Karena MUI sebagai organisasi netral dan bukan fungsional tentu akan mendukung perjuangan yang berdampak pada kemaslahatan masyarakat Samarinda,” ungkapnya.
Sementara Juru Bicara GMSM Merah Johansyah mengaku berterima kasih atas dukungan para ulama di MUI Samarinda. Dukungan itu menjadi semangat baru dalam perjuangan class action terhadap aktivitas pertambangan batu bara di Samarinda yang berstatus darurat. Dengan luas lahan konsesi pertambangan mencapai 71 persen dari total luas Samarinda merupakan satu hal yang mengkhawatirkan dan mengancam kehidupan masyarakat, sebab fasilitas publik, pemukiman dan sarana pendidikan di masyarakat hanya menerima imbas dari tambang batu bara.
    “Kondisi pertambangan di Samarinda harus disikapi dengan tegas, karena darurat. Beberapa insiden musibah yang terjadi akibat kelalaian dalam pengawasan serta aktivitas pertambangan yang tak ramah lingkungan akibat tak melakukan reklamasi dan revegetasi menimbulkan kerugian materi hingga mengorbankan nyawa warga Samarinda. Jika kondisi ini dibiarkan, sangat beresiko dan mengancam keberlangsung hidup masyarakat,” terangnya.
Karena itu, pada 21 Januari nanti, GMSM akan diluncurkan ke publik sekaligus menggalang dukungan dan simpati masyarakat Samarinda untuk ikut serta dalam perjuangan tersebut. Peluncuran gerakan itu sekaligus upaya sebelum mendaftarkan gugatan secara resmi ke Pengadilan Negeri (PN) Samarinda.
Dalam pertemuan itu, Merah menyerahkan kertas posisi ornop berisi 3 kasus hukum yang berhasil diidentifikasi terjadi di Samarinda akibat tambang batu bara, yakni hilangnya nyawa 5 anak akibat kelalaian Pemkot Samarinda dalam menjalankan kewajiban melakukan pengawasan, banjir lumpur yang mengakibatkan kerugian materiil dan non materiil pada warga korban langsung maupun tidak langsung disebabkan kelalaian pengawasan Pemkot Samarinda, kerusakan dan terabaikannya pelayanan publik dan fasilitas publik disebabkan kelalaian Pemkot Samarinda dalam menjalankan kewajiban pengawasannya.
Karena itu, koalisi Ornop Samarinda memilih upaya hukum atau litigasi sebagai upaya untuk mencapai rekomendasi yang ada dalam kertas posisi yang dijadikan acuan dalam proses gugatan hukum dan dimanfaatkan tim kuasa hukum sebagai landasan gerak mereka. Kertas posisi itu dibuat oleh Koalisi Ornop dan Warga Samarinda Menggugat terdiri Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Kelompok Kerja (Pokja) 30 Kaltim, BEBSIC, Yayasan Bumi, Bioma, Naladwipa Institute dan GP Ansor

MUI Samarinda Nyatakan Haram bagi Tambang Perusak Lingkungan

 Ketua MUI Samarinda, Zaini Naim, memberikan fatwa haram bagi pertambangan yang merusak lingkungan. Pernyataan itu menyusul pertemuannya dengan aktivis lingkungan, yakni Jatam (Jaringan Advokasi Tambang).
“Kalau semua usaha tambang batu bara kita haramkan, itu sama saja pelarangan mencari nafkah. Yang MUI haramkan adalah usaha tambang yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Jadi, kalau tambang batu bara di Samarinda ini merusak lingkungan, berarti sudah haram,” ujarnya.
Bahkan, menurutnya, fatwa haram itu bagi perusak lingkungan itu sudah dikeluarkan sejak 2006 lalu. Yakni, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ketika ada pertemuan MUI se-Kalimantan. Fatwa itu dikeluarkan sebagai bentuk keprihatinan atas kerusakan lingkungan di Kalimantan.
“Fatwa ini muncul, karena ada kekhawatiran suatu saat usaha tambang menggeliat, namun tidak memperhatikan dampak lingkungan. Sekarang, kerusakan yang kami takutkan terbukti. Usaha tambang merusak lingkungan Samarinda,” jelasnya.
Tak hanya itu, MUI Samarinda juga mengharamkan uang hasil pertambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.
“Selanjutnya, aparat harus menindak tegas segala bentuk aktivitas yang sudah jelas merusak lingkungan,” tegasnya.
“Tidak ada hal yang patut dipertimbangankan pemerintah jika di depan mata terlihat kerusakan lingkungan, yang disebabkan oleh usaha tambang,” tambahnya.